Home / Tatsqif / DAKWAH ITU MEMBERI

DAKWAH ITU MEMBERI

Dakwah adalah warisan agung para Nabi. Sejak Nabi Nuh `alayhissalam menyeru umatnya siang dan malam, hingga Rasulullah ﷺ menghadapi hinaan, ancaman, dan boikot, dakwah tidak pernah lepas dari semangat memberi. Memberi waktu, tenaga, pikiran, harta, cinta, bahkan jiwa. Dakwah bukan tentang mengambil. Dakwah bukan tentang mencari kedudukan. Dakwah bukan tentang popularitas. Dakwah adalah pengabdian. Dakwah adalah pelayanan.

Menjadi seorang kader dakwah berarti siap hidup dalam irama pengorbanan. Ia akan menemukan dirinya di antara dua pilihan: memberi atau mati. Mati bukan hanya dalam makna jasmani, tapi mati makna, mati visi, mati motivasi. Maka seorang kader dakwah akan terus menyalakan semangat memberi agar tetap hidup. Karena memberi adalah tanda hidupnya iman, bergeraknya hati, dan besarnya cinta pada umat.

Memberi adalah sunnatullah dalam perjuangan. Matahari terus memberi cahayanya, bumi memberi pijakannya, air memberi kesegarannya, dan udara memberi napas kehidupan. Alam tunduk kepada Allah dengan memberi manfaat. Maka apakah pantas seorang kader dakwah hidup tanpa memberi?

Memberi dalam dakwah bukan karena kelebihan. Tapi karena kesadaran bahwa hidup ini hanya akan bermakna bila digunakan untuk memberi. Seorang kader mungkin bukan yang paling pintar, paling kaya, atau paling berpengaruh. Tapi ia bisa tetap mulia bila hatinya tulus memberi.

Jangan tunggu sempurna untuk memberi. Karena Allah tidak menilai besarnya pemberianmu, tetapi keikhlasan dan konsistensimu. Lihatlah para sahabat Nabi. Ada yang kaya seperti Abdurrahman bin Auf, ada pula yang miskin seperti Abu Hurairah. Tapi keduanya memberi. Yang satu dengan hartanya, yang lain dengan ilmunya. Bahkan seorang wanita kulit hitam yang merelakan hidupnya untuk membersihkan masjid, dicatat oleh Rasulullah sebagai ahli surga. Karena ia memberi, walau mungkin tak banyak yang tahu.

Kader dakwah yang sejati adalah mereka yang terus memberi tanpa lelah, tanpa pamrih. Mereka memahami bahwa memberi adalah bentuk syukur tertinggi. Ketika kita diberi nikmat oleh Allah—iman, ilmu, kesehatan, kesempatan—maka bentuk syukur terbaik adalah memberikannya kepada orang lain. Dakwah itu adalah ekspresi cinta dan syukur. Dan cinta yang sejati selalu ingin memberi.

Namun jalan ini tidak mudah. Ada kalanya kita merasa lelah, jenuh, bahkan kecewa. Memberi perhatian, tidak dibalas. Memberi pengorbanan, tidak dihargai. Memberi tenaga, justru dicurigai. Tapi itulah ujian keikhlasan. Jika kita memberi karena Allah, maka tidak ada yang sia-sia. Allah tahu, Allah lihat, dan Allah catat semuanya. Bahkan niat yang tak jadi terlaksana pun tetap dihitung sebagai pahala.

Ingatlah, Rasulullah ﷺ adalah manusia yang paling banyak memberi. Beliau memberi ilmu, kasih sayang, keamanan, bahkan hidupnya untuk umat. Ketika dilempari batu di Thaif, beliau tidak marah. Ketika ditolak, dihina, difitnah, beliau tetap memberi maaf. Karena beliau memahami: dakwah adalah memberi.

Saat kita menapaki jalan dakwah, kita tidak sedang menjalani karier. Kita sedang memenuhi janji pada Allah. Janji untuk menolong agama-Nya. Janji untuk mencintai manusia karena Allah. Maka jangan pernah merasa rugi saat memberi dalam dakwah. Justru rugilah mereka yang enggan memberi, karena mereka kehilangan kemuliaan yang besar.

Kader dakwah hendaknya memiliki mental pejuang. Pejuang itu tidak menunggu kenyamanan. Pejuang itu hadir untuk menciptakan kenyamanan bagi orang lain. Pejuang itu tidak menunggu ditanya, tapi menawarkan diri. Tidak menunggu perintah, tapi menciptakan solusi. Karena itu, salah satu ciri kader sejati adalah inisiatif memberi. Melihat kekosongan, lalu mengisi. Melihat kebutuhan, lalu bergerak.

Memberi juga berarti berani mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingan pribadi. Ketika kantong pas-pasan tapi tetap menyumbang dakwah. Ketika tubuh lelah tapi tetap hadir di medan amal. Ketika waktu sempit tapi tetap menyempatkan tilawah, mengajar, atau menyapa sesama. Di sinilah keagungan seorang kader diuji: mampu memberi dalam keterbatasan.

Kader dakwah bukan hanya pemberi materi, tapi pemberi makna. Ia menebar harapan saat yang lain putus asa. Ia menanam optimisme saat yang lain mengeluh. Ia membangun visi jangka panjang saat yang lain tenggelam dalam masalah sesaat. Karena itu, tugas seorang kader bukan hanya menjadi pemecah masalah, tapi juga pembangun harapan.

Salah satu bentuk memberi yang paling tinggi nilainya adalah memberi teladan. Banyak orang bisa bicara, tapi tidak semua bisa menjadi contoh. Kader dakwah harus menjadi teladan dalam akhlak, kesantunan, kedisiplinan, dan kesungguhan. Keteladanan adalah dakwah yang paling kuat. Bahkan sebelum lidah berbicara, akhlak telah lebih dulu menyentuh hati.

Di era media sosial dan kecepatan informasi seperti hari ini, kader dakwah ditantang untuk memberi narasi yang menenangkan, menyatukan, dan menumbuhkan. Jangan sampai kita justru ikut dalam arus ujaran kebencian, adu domba, atau fitnah. Dakwah bukan sekadar membantah atau menyerang, tapi membangun kesadaran dan kedamaian.

Memberi juga berarti sabar. Sabar dalam menghadapi mad’u yang belum berubah. Sabar dalam menunggu hasil. Sabar dalam menghadapi kritik. Sabar dalam proses. Dakwah bukan sprint, tapi maraton. Dibutuhkan konsistensi memberi selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, sebelum melihat hasil yang nyata. Tapi yakinlah, setiap tetes keringat dan air mata itu tidak akan sia-sia di sisi Allah.

Kadang kita merasa lelah, seolah tidak ada yang berubah. Tapi ketahuilah, siapa pun yang pernah terinspirasi karena kita, yang berubah karena sentuhan kita, yang tersenyum karena perhatian kita—maka itu semua menjadi amal jariyah yang terus mengalir.

Kita tidak perlu menunggu menjadi ustaz terkenal untuk memberi manfaat. Tidak harus punya ribuan pengikut untuk menginspirasi. Cukup menjadi kader dakwah yang ikhlas. Yang hadir di tengah umat. Yang memberi tanpa banyak bicara. Yang bekerja walau tak selalu terlihat. Karena sejatinya, dakwah adalah kerja peradaban. Dan peradaban dibangun oleh mereka yang terus memberi.

Sebagaimana matahari yang tak pernah berhenti bersinar, kader dakwah sejati tak pernah berhenti memberi. Dalam gelap, ia menjadi cahaya. Dalam dingin, ia menjadi hangat. Dalam kering, ia menjadi hujan. Dalam kelam, ia menjadi harapan.

Mari terus memberi. Jangan menunggu sempurna. Jangan menunggu dipuji. Jangan menunggu aman. Karena kader dakwah itu bukan hanya berbuat saat mudah, tapi tetap memberi saat sulit. Saat dunia sibuk menuntut, biarlah kita sibuk memberi. Karena kita adalah pejuang cinta, bukan peminta-pinta.

Akhirnya, jadikan setiap napas sebagai amal. Setiap langkah sebagai dakwah. Setiap tindakan sebagai bentuk cinta. Dan setiap pemberian sebagai sedekah abadi. Kita mungkin bukan siapa-siapa di mata manusia. Tapi biarlah kita menjadi segalanya di mata Allah, karena kita memilih untuk terus memberi.

Oleh: Funkkhy IW, SE, PMGA, CHHH

Leave a Reply